Suku Togutil Yang Hidup Di Pedalaman Hutan Halmahera

Suku Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti “suku yang hidup di hutan” atau dalam bahasa Halmahera pongana mo nyawa. Mereka hidup berkelompok dan sangat menjaga kearifan lokal berupa bentuk larangan untuk menebang hutan atau pohon sagu secara tidak terorganisir.
 

Cara Hidup Suku Togutil 

Suku Togutil hidup dengan cara berpindah-pindah di dalam hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate. Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli, sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40 kilometer menuju hutan Wasile. Suku Togutil terkenal dengan sebutan nomaden, dan karena itu kehidupan mereka masih sangat tergantung pada keberadaan hutan-hutan asli, maka dapat dikatakan hutan adalah alam yang paling tepat untuk pemukiman mereka. Mereka bermukim secara berkelompok di sekitar sungai.

Umumnya rumah mereka tidak berdinding dan berlantai papan panggung. Dalam kesehariannya, mereka menyantap makanan mentah atau dimasak dengan cara dibakar dengan bambu. Air kebanyakan mereka minum langsung dari sungai. Mereka masih sangat bergantung pada hasil alam. Makan dari buah-buahan, umbi-umbian, pucuk-pucuk daun muda dan dari hasil buruan binatang hutan dan ikan sungai. 

Warga Suku Togutil hidup dalam kondisi primitif, bahkan tidak mengenal huruf. Mereka juga terlihat bertelanjang dada. Suku Togutil sebenarnya telah mengenal peradaban luar, namun mereka memilih menjauhi modernitas. Tradisi turun-temurun membawa mereka ke kerangka hidup sederhana dan terus dipertahankan.

Penyebaran Suku Togutil Di Halmahera
 
Suku Togutil dapat ditemui Dd pedalaman pulau Halmahera, komunitas suku pengembara ini ditemui di beberapa kawasan. Di utara masih terdapat di pedalaman Tobelo, di tengah seperti terdapat di Dodaga, di pedalaman Kao, di pedalaman Wasilei dan agak ke selatan juga terdapat beberapa komunitas mereka di pedalaman Maba dan Buli. Setiap komunitas (kelompok) suku primitif ini berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bahkan mereka saling berperang bila bertemu.

Di lain tempat, suku Togutil juga ditemui menetap di daerah yang berada di dalam kawasan usulan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Suku Togutil dan Suku Tobelo juga ditemukan di hutan nomaden, misalnya hutan Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo dan Buli.

Asal-Usul Suku Togutil Menurut Sosebeko, (2010)

Berawal dari maksud mencari rempah-rempah, tanah Maluku yang terkenal akan cengkeh dan pala menjadi incaran bangsa Eropa yang lalu berlomba-lomba datang untuk menguasainya. Pada tahun 1546, Portugis mulai menyisir setiap pantai dan pulau yang ada di bumi Maluku Utara. Teluk Galela tidak ketinggalan. Tahun 1570 Sultan Khairun diracuni oleh Portugis saat sedang melangsungkan perundingan. Putranya, Sultan Babullah bersumpah untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka dan secara gencar mengincar dan menggempur setiap kubu pertahanan portugis termasuk yang terdapat di Mamuya yang tidak tercatat dalam sejarah. Kapal Portugis tersebut masuk ke hulu Tiabo untuk menghindari pengejaran pasukan Korakora Sultan Ternate. Sayangnya mereka bernasib sial karena meskipun berhasil meluputkan diri namun pasukan Alifuru di pedalaman Galela telah menanti. Pertempuran pun tak dapat dielakkan lagi. Sengatan lebah-lebah ini ternyata menimbulkan banyak korban di pihak Portugis. Upaya penyelamatan dilakukan dengan api dan belerang serta serangan balik dengan tembakan yang membabibuta, membuat pasukan Alifuru mundur dan menghindar dari peluru-peluru nyasar.

Mundurnya pasukan Alifuru digunakan oleh Portugis untuk segera meninggalkan kapal dan daerah Dokulamo menuju arah selatan. Mereka bermukim di daerah Gunung Hum dan kemudian menamakan daerah tersebut Rum yang mengisyaratkan bahwa daerah itu adalah tempat tinggal orang-orang yang berasal dari Rumawi. Orang-orang Portugis di daerah Hum/Rum tidak dapat tinggal dengan tenang dikarenakan orang-orang Galela sering mengusik ketentraman mereka. Mereka pun kemudian memilih hijrah ke daerah Tobelo dengan menepati bebukitan Karianga arah selatan daerah Wangongira, Kusuri, lembah Kao, batang sungai kali Jodo menuju arah Tetewang. Perpindahan ini mempertemukan mereka dengan sesama bangsanya yang bernasib serupa di sekitar Pasir Putih yang kapalnya karam.


Sebagian dari mereka menetap dan menyatu dengan masyarakat setempat. Untuk menghilangkan jejak sebagai orang Portugis mereka pun belajar bahasa Tobelo dan berusaha keras menghilangkan aksen bahasanya. Mereka kemudian hidup bergaul dengan orang Tobelo dan Kao yang pada akhinya membuat kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Upaya-upaya ini dilakukan untuk menghindari kejaran pasukan Ternate dan Alifuru terhadap sisa-sisa orang Portugis di Maluku Utara yang lari ke hutan. Pada perkembangannya, orang-orang Portugis ini kemudian hidup dengan cara berpindah-pindah ke daerah yang mereka anggap lebih aman sambil tetap berkembang biak. Populasi mereka diketahui menempati hutan di selatan Halmahera Utara sampai ke hutan Wasilei di Halmahera Timur. Mereka senang tinggal ditepian sungai. Rumah mereka terbuat dari kayu bulat beratapkan daun rumbia atau daun woka tanpa dinding.

Ciri - Ciri Khas Suku Togutil  

Suku Togutil yang belum kawin campur pada umumnya berperawakan seperti orang Portugis. Mereka berpostur tubuh tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung. Anak-anak perempuan mereka cantik-cantik dengan bola mata yang berwarna bening-keabuan.

Budaya Suku Togutil

Kepercayaan atau Keyakinan asli orang Togutil menurut hasil penelitian Martodirdjo (1996) terpusat pada ruh-ruh leluhur yang menempati seluruh alam lingkungan. Orang Togutil percaya akan adanya kekuatan dan kekuasaan tertinggi yaitu Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta atau biasanya disebut juga o gikiri-moi yaitu jiwa atau nyawa. Walaupun demikian orang Togutil tidak pernah melakukan upacara-upacara pemujaan. Mereka tidak pernah menyebut istilah atau nama khusus untuk sistim relegi aslinya.

Kepercayaan asli orang Togutil yang terpusat pada penghormatan dan pemujaan pada leluhur tersebut digambarkan dalam berbagai makhluk halus yang dalam pandangan orang Togutil menempati seluruh lingkungan hidup sekitar baik dalam bentuk benda yang bersifat alami (nature) maupun benda hasil karya cipta manusia (culture) yang dipercaya memiliki yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan usaha ataupun aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.


 Sistem Kekerabatan Suku Togutil

Orang-orang Togutil hidup berkelompok yang anggotanya masih keluarga luas. Mereka masih merupakan kerabat yang terdiri dari orang tua, anak, keponakan, dan saudara-saudara. Suku Togutil menganut paham patriarki. Karenanya, jika dia lelaki dan sudah menikah, akan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Jika perempuan dan sudah menikah, biasanya akan ikut dengan kelompok suaminya.

Namun tak jarang, menurutnya, hubungan pernikahan bisa terjadi antara anggota keluarga luas yang ada dalam satu kelompok itu. Pada kelompok kecil ini, biasanya paling banyak terdiri dari 10 kepala keluarga (KK). Tapi, tak seluruhnya membangun rumah. “Satu rumah dihuni minimal dua KK. Bahkan bisa tiga sampai empat KK. Sehingga satu kelompok hanya membangun sekitar tiga rumah saja.

Bangunan rumah mereka, adalah rumah panggung setinggi satu meter dari tanah berukuran sekitar 3×4 meter. Rumah yang mereka bangun tanpa sekat juga tak memiliki dinding. Di bawah rumah biasanya dibuat perapian yang berfungsi sebagai penghangat kala hawa dingin menyapa. Di rumah itulah mereka berkumpul, makan, istirahat, dan bercengkerama dengan para kerabatnya.

Jalinan kekerabatan suku Togutil kerap diwujudkan dalam satu upacara makan bersama yang disebut makkudotaka. Upacara dilakukan antara satu kelompok dan kelompok yang lain. Upacara ini dilakukan tanpa ikatan waktu, bukan sebulan sekali ataukah setahun sekali. Biasanya, jika ada kelompok A bertemu dengan kelompok B, ketika kelompok B mengatakan dia suka makan telur ayam hutan, daging rusa, atau berbagai makanan enak lainnya menurut mereka, maka kelompok A tidak bisa menolak. Mereka harus menerima untuk menyiapkan segala makanan yang disebutkan tadi. Kelompok A akan minta diberi waktu, misalnya sebulan atau dua bulan untuk menyiapkan bahan makanan yang diminta. Jika dalam tempo yang diminta, makanan belum juga terkumpul, mereka akan memperpanjang waktu lagi. Saat itulah dua kelompok akan bertemu dan menikmati kebersamaan ala makkudotaka. Inilah sebuah upacara kebersamaan dari para penghuni rimba Halmahera.

Mata Pencaharian Suku Togutil

Mata Pencaharian Ketergantungan mereka pada alam membuat mereka memiliki pola hidup nomaden. Setelah persediaan umbi-umbian dan buah-buahan serta hewan menjadi berkurang mereka akan berpindah ke daerah baru. Demikianlah sehingga mereka kemudian dikenal sebagai pemilik hutan Halmahera mengingat merekalah yang pertama menjelajahi dan menempati hutan Halmahera. Bagi masyarakat Togutil yang masih primitif, tidak mengenal sistem bercocok tanam dan menetap. Sehingga salah satu mata pencaharian andalan mereka adalah berburu, menangkap ikan, mengumpulkan hasil hutan dan menggunakan sagu sebagai sumber karbohidratnya.

Pola hidup suku Togutil yang sudah berbaur dengan masyarakat dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam umbi-umbian dan buah-buahan serta tanaman tahunan sehingga hidupnya tidak lagi berpindah-pindah tempat. Mereka juga sudah dapat menggunakan alat-alat pertanian dan berbusana dengan baik.

Bahasa Suku Togutil

Sistem Bahasa Suku ini memiliki rumpun yang sama dengan Suku Tobelo, kebanyakan orang Togutil berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Tobelo Boeng dan Modole. Mereka hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga. Dilihat dari bahasa yang digunakan sesuai hasil penelitian, kelihatannya lebih besar pengaruh bahasa Tobelo Boeng terhadap suku ini. Orang Togutil Dodaga sebagian besar berasal dari daerah Kao. Mereka hanya menguasai dan mengerti satu bahasa yaitu bahasa Tobelo walaupun mereka sejak lama bertempat tinggal di lingkungan yang mayoritas berbahasa Maba. Suku Togutil yang dikategorikan suku terasing tinggal di pedalaman Halmahera bagian utara dan tengah, menggunakan bahasa Tobelo sama dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir, orang Tobelo.

Keadaan saat ini Suku Togutil

Suku ini telah mengalami banyak perubahan baik dari segi agama yang telah beralih dari agama lokal menjadi agama resmi, dari yang nomaden menjadi menetap dan bermata pencaharian di luar berburu dan menangkap ikan. Namun, itu tidak berlaku pada suku primitif yang masih menetap di dalam kawasan hutan. Pola hidup pada Suku Togotil yang sudah berbaur dengan masyarakat luar yang dapat dilihat dari kemampuan mereka dalam bercocok tanam. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada Suku Togutil sudah mau membuka diri bagi masyarakat luar terkait kebudayaan walaupun masih ada sebagian yang masih tertutup dengan adanya budaya luar.

Sumber : Lihat 
Foto : creative of admin

No comments:

Powered by Blogger.