Hutan sebagai penyerap karbon dan Perdagangan Karbon (Carbon Trading)



Peranan Hutan sebagai penyerap karbon mulai menjadi sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca, berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dimana peningkatan ini menyebabkan kesetimbangan radiasi
berubah dan suhu bumi menjadi lebih panas. Gas rumah kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh
permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global (global warming). Di antara GRK penting yang diperhitungkan dalam pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Dengan kontribusinya yang lebih dari 55% terhadap pemanasan global, CO2 yang diemisikan dari aktivitas manusia (anthropogenic) mendapat perhatian yang lebih besar. Tanpa adanya GRK, atmosfer bumi akan memiliki suhu 30oC lebih dingin dari kondisi saat ini. Namun demikian seperti diuraikan diatas, peningkatan konsentrasi GRK  saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga emisi GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi (mitigasi) pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya atau meningkatkan kemampuan penyerapan.

Hutan berperan dalam upaya peningkatan penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan dengan ”net growth” (terutama dari pohon-pohon yang sedang berada fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil hanya menyimpan stock karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 berlebih/ekstra (Kyrklund, 1990). Dengan adanya hutan yang lestari maka jumlah karbon (C) yang disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Oleh karena itu, kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu menyerap kelebihan CO2 di atmosfer.

Karbon dioksida atmosfer secara alami menyuburkan tanaman, sebagai tanaman menggunakan karbon dioksida untuk berfotosintesis. Dengan terus meningkat emisi karbon dioksida di atmosfer global, produksi tanaman sudah mulai meningkat di beberapa lokasi, terutama di hutan tropis. Peningkatan produktivitas tanaman untuk jumlah daun lebih besar dan lebih berlimpah. Karena daun menghisap karbon dioksida dari atmosfer, pertumbuhan daun meningkat mungkin akan meningkatkan kemampuan pohon diberikan untuk menyerap karbon dioksida. Sayer dan rekan-rekannya, bagaimanapun, menunjukkan bahwa tanaman-atmosfer interaksi ini tidak sederhana, dan yang lebih rumit oleh peningkatan karbon pembuahan.

Daun Ya, karbon dibuahi berfungsi sebagai penyerap karbon sementara mereka masih menempel pada pohon masing-masing. Tapi, saat sekarat, mereka jatuh ke hutan lantai dan berkontribusi tumpukan tumbuh bahan tanaman mati, atau sampah. Litter dengan cepat memulung dengan menguraikan mikroba dalam tanah yang melepaskan karbon sekali diasingkan kembali ke atmosfer. Kegiatan ini adalah normal, dan menjelaskan mengapa hutan hujan tropis seperti besar karbon dioksida emitor alam. Namun, menurut temuan Sayer, meningkat daun sampah yang dihasilkan oleh karbon-fertilisasi dapat merangsang mikroba untuk menguraikan lebih efisien karena daun lebih decomposable dari bahan kayu di lantai hutan. Ini ‘priming’ dari mikroba dengan masuknya bahan mudah decomposable proporsional dapat meningkatkan jumlah bersih dari karbon dioksida yang dipancarkan dari sikap tertentu pohon.

PARADIGMA PERDAGANGAN KARBON

Negara-negara industri yang sudah lebih lama dan banyak mengemisikan GRK mempunyai tanggungjawab menurunkan emisi GRK. Kewajiban ini disepakati dalam Konvensi Perubahan Iklim, yaitu sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk menstabilkan emisi GRK ke atmosfer sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mengimplementasikan konvensi ini, masyarakat internasional telah menyepakati sebuah target, tentang besar dan jadwal penurunan emisi yang tertuang dalam Protokol Kyoto. Protokol ini juga mengatur tatacara penurunan emisi termasuk kegiatan yang dilakukan di negara lain yang dikenal dengan nama Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM). Melalui mekanisme CDM inilah negara berkembang seperti Indonesia dapat menjual karbon yang mampu diserap dan disimpan oleh hutan yang dimiliki ke negara maju (sink program). Indonesia sangat berpotensi menjadi negara penyerap emisi karbon karena Indonesia mempunyai hutan tropis yang luas bahkan potensi tersebut dapat lebih ditingkatkan dengan upaya penanaman dan rehabilitasi hutan yang telah rusak yang tersebar luas. Dalam sektor kehutanan, kegiatan yang tergolong dalam CDM adalah aforestasi dan reforestasi.

Aforestasi merupakan kegiatan penanaman hutan kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan 50 tahun yang lalu sedang reforestasi adalah penanaman hutan kembali pada lahan yang tidak berupa hutan sebelum tahun 1990. Meskipun kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan mitigasi yang absah dibawah prosedur CDM. Namun kegiatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mekanisme yang tidak diatur oleh CDM, tetapi oleh Konvensi Perubahan Iklim yang memungkinkan juga mendapatkan pembiayaan. Selain CDM beberapa alternatif potensi pasar karbon lain juga tersedia, yaitu melalui pasar non kyoto dengan persyaratan dan kriteria lain, seperti pasar Amerika (sink carbon), bio-carbon fund, bilateral, multilateral dan unilateral donor. 

(biokonservasigesit)

No comments:

Powered by Blogger.