Menuju kecerdasan Ruhaniyah

“Sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal darah, apabila dia berfungsi dengan baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu bernama Qalbu.” (Hadits)

Memahami dan menangkap seluruh pengertian qalbu secara utuh adalah kemustahilan. Namun kita dapat memahaminya melalui gejala-gejala yang ditimbulkannya. Qalbu adalah hati nurani yang  menerima limpahan cahaya kebenaran Ilahiah. Qalbu menjadi perangkat manusia yang paling pertama sejak di alam ruh bahkan menjadi lokus (tempat) menerima persaksian dari Tuhannya.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil persaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman),’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi…”(al-A’raaf: 172)

Dengan qalbu inilah, Allah hendak memanusiakan manusia, memuliakannya dari segala makhluk yang diciptakan-Nya. Sebaliknya, dengan qalbu pula manusia membinatangkan dirinya sendiri. Qalbu menjadi sentral bagi kecerdasan dan kebodohan ruhani manusia. Untuk itulah maka Allah tidak menilai manusia dari tindakan yang tampak kasat mata (lahiriah) tetapi Dia menilai apa yang disengaja oleh hati atau qalbunya. Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk wajahmu, tidak memandang badanmu, melainkan Dia memandang qalbumu”.

Di dalam qalbu terkandung perasaan moral, mengalami dan menghayati benar-salah, baik-buruk, serta berbagai keputusan yang harus dipertanggungjawabkan secara sadar, sehingga kualitasnya bisa menentukan apakah ia pantas untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (Khalifatu fil-ardh) atau malah terpuruk dalam derajat kebinatangan yang hina, dan bahkan lebih hina dari binatang melata (bal hum Adhdhallun).

Qalbu menjadi penentu dari sikap sejati manusia yang paling otentik, yaitu kejujuran, keyakinan, dan prinsip-prinsip kebenaran. Sikap sejati itulah yang melahirkan tindakan yang berorientasi pada prestasi kerja (‘amal shaleh). Inilah yang kemudian dinamakan dengan kecerdasan ruhani, yakni sikap yang selalu bertanggung jawab untuk tidak mengkhianati nuraninya sendiri. Ia selalu berkomitmen terhadap keyakinan dan prinsip-prinsip kebenaran (iman dan taqwa).

Kualitas dari kecerdasan ruhani sangat ditentukan sejauhmana ia berupaya untuk selalu membersihkan dan memberikan pencerahan pada qalbu-nya. Qalbu harus selalu berada pada posisi untuk menerima curahan cahaya ruh yang bermuatan kebenaran dan kecintaan kepada Ilahi.

Kecerdasan ruhani adalah kecerdasan yang paling sejati tentang kearifan dan kebenaran serta pengetahuan Ilahi. Kecerdasan ini membuahkan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhannya (mahabbah lillah), sehingga seluruh tindakannya dibimbing oleh ilmu Ilahiah yang mengantarkannya kepada pengenalan Tuhannya (ma’rifatullah).

Riyadhah Ruhaniyah

Manusia adalah makhluk yang dengan kreatifitas dan imajinasinya memungkinkan untuk berbuat baik maupun buruk. Ketika potensinya itu lepas dari cahaya dan kendali Ilahi, maka qalbu-nya akan dirasuki oleh kekuatan setan, sehingga seluruh kreatifitas dan imajinasinya bisa menyesatkan, bukan saja dirinya, tetapi juga orang lain. Untuk itulah diperlukan latihan (riyadhah) agar qalbu-nya itu tetap memancarkan kecerdasan ruhani. KH. Toto Tasmara dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniyah, memberi saran untuk melatih jiwa memiliki kecerdasan ruhani, yaitu dengan enam prinsip dan langkah berikut :

 1. Memiliki rasa Cinta (mahabbah) serta pemahaman yang kukuh terhadap ruh tauhid, yakni menjadikan Allah satu-satunya Ilah (Tuhan) sebagai tumpuan dan tujuan tempat seluruh tindakan diarahkan kepada-Nya. Dia juga satu-satunya sandaran untuk bertawakkal dan tempat memohon pertolongan.

2. Merasakan kehadiran Allah (omni present). Memberikan kesadaran dan keyakinan yang membekas di hati bahwa Allah senantiasa hadir dan menyaksikan seluruh perbuatan bahkan bisikan hatinya. Kesadaran dalam dirinya selalu membisikan bahwa ada kamera Ilahi yang terus-menerus memantau, merekam dan mencatat secara akurat semua tindakannya di dunia ini.

3. Meyakini kesementaraan dunia dan keabadian akhirat. Merasakan dengan sangat bahwa hidup hanyalah kedipan mata dan fatamorgana. Apa yang di sisi manusia adalah fana’ (binasa) sedangkan di sisi Allah adalah baqa’ (kekal abadi).

4. Ingin menjadi teladan. Merasakan dan menghayati nilai-nilai akhlaqul karimah dengan membaca dan mengerti riwayat hidup Rasulullah, para sahabat dan orang-orang shaleh yang hidupnya selalu bersih dan mengabdi pada nilai-nilai kebenaran Ilahiah. Melakukan perjalanan ruhani dengan membaca berbagai hikmah sebagai nasihat hati.

5. Berprilaku sederhana. Menguji diri dengan cara mempraktekkan kehidupan yang zuhud, agar cahaya ruhaniyah tidak tenggelam dan diambil alih oleh nyala api hawa nafsu syahwati.

6. Memiliki rasa ingin tahu (curiousity) yang tinggi. Mempelajari, merenungkan dan meneliti dengan penuh rasa ingin tahu yang sangat mendalam terhadap kandungan Al-Qur’an, kemudian menjadikannya sebagai petunjuk yang memotivasi dirinya untuk bertindak.

Kecerdasan ruhani yang ditimbulkan oleh qalbu tidak datang dengan sendirinya, tetapi ia melalui proses, melalui liku-liku perenungan dan pengalaman yang mendalam, sehingga dawai kalbunya sangat sensitif karena sering dilatih dan mampu mendendangkan kebenaran. Perlu hasrat yang kuat (mujahadah) untuk melahirkan perjuangan batiniah yang terus menyala-nyala, sehingga hidupnya lebih kaya nilai, bermakna dan penuh kesadaran bahwa kebahagiaan sejati terletak pada perjalanan dan usahanya yang gigih.

Sesekali kita juga memerlukan keheningan agar mampu mendengar suara batin kita yang menyampaikan pesan Ilahi, sehingga dengan sadar dan jujur kita mau memeriksa dan mengadili perjalanan dan pengalaman hidup serta mengakui setiap kesalahan yang pernah diperbuat (muhasabah) untuk segera disucikannya kembali (tazkiyyatunnafs). Wallahu’alam.

by. Usep Supriatna

No comments:

Powered by Blogger.